Penggalan Surga di Atas Angka

DALAMalbum Lir Ilir, budayawan Emha Ainun Najib menggambarkan bahwa negeri Indonesia ini ibarat ”penggalan surga”.

Keindahannya, gemah ripahnya, suburnya, kemajemukannya,kekayaan buminya, lautnya,budayanya memiliki nilai lebih yang jarang dimiliki negara lain. Ungkapan Cak Nun, demikian penyair asal Jombang itu biasa disapa, memang tak berlebihan.

Karena bumi Indonesia menyimpan kekayaan berlimpah yang tak ternilai: emas, perak, tembaga, nikel, batu bara, bijih besi, minyak, dan berbagai sumber daya lain. Sementara permukaannya banyak menghasilkan tumbuh-tumbuhan yang tak kalah bernilai di pasar dunia.

Namun,kenyataannya, ”penggalan surga” ini tak membuat rakyat Indonesia merasa layaknya di surga.Hanya segelintir orang yang menikmatinya.Lebih parah lagi,itu semua lebih sering dinikmati untuk pesta orang asing.Sekitar 30 juta (versi BPS) atau 47 juta (versi LIPI) rakyat Indonesia hidup dalam kesusahan. Ironisnya, angka kemiskinan inilah yang terus menjadi bahan komoditas perdebatan.

Khususnya angka yang dikeluarkan pemerintah lewat BPS,bukan substansinya tentang cara mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Apalagi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009.Angkaangka kemiskinan itu menjadi amunisi untuk saling menyerang, tapi tak satu pun yang menawarkan penanggulangan kemiskinan secara nyata,kecuali jargon-jargon kosong.

Apa pengaruh angka-angka itu bagi rakyat miskin di Indonesia? Tidak ada.Entah berapa jumlah pastinya. Yang jelas, indikasi riil berapa jumlah kemiskinan versi LIPI maupun BPS tak berpengaruh.Bahwa rakyat kita berada di bawah garis kemiskinan,hal itu bisa dilihat dalam keseharian di mana pun.

Perilaku beringas,egoisme,irasional,bahkan nyawa pun berani dipertaruhkan demi sesuatu yang sebetulnya jauh tak sebanding dengan nilai nyawanya, sebagai naluri keterdesakan yang akut. Kasus pembagian zakat di Pasuruan (15/9) yang menelan korban 21 jiwa melayang demi Rp30.000 salah satu potret riil kemiskinan kita.

Para penduduk miskin––umumnya petani–– melihat pemberian para dermawan sebagai jalan keluar laparnya perut mereka.Sementara para petani di desa sebetulnya bukanlah petani,tetapi buruh tani.Harga gabah pun sering menjadi permainan para tengkulak.

Belum lagi harus menghadapi serangan hama, kemarau, sistem pengairan yang rusak, hilangnya pupuk di pasaran dan mahal. Para petani itu ibarat ayam mati dalam lumbung padi.Sudah lumbungnya kosong, padinya dimakan ”tikus”pula.

Tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu mestinya sudah membaca agenda 2009 nanti yang sarat kepentingan politik. Mereka harus menyiapkan berbagai strategi untuk menjaga kestabilan, khususnya perekonomian rakyat.Masyarakat pun jangan ikut larut dalam euforia pemilu yang hasilnya juga belum tentu membawa perbaikan nasib bangsa ini.

0 komentar: